Jumat, 11 Maret 2016

Percakapan Pertama: Melebur

“Ini menjadi tidak masuk akal. Kamu pikir, jika dua orang bersama itu, artinya salah satunya harus melebur ke dalam satunya lagi? Lalu menjadi sebuah kesatuan, begitu?” Kutanggapi kamu dengan sisa-sisa sabar yang aku punya.  

“Lalu, kenapa kita harus bersama jika kita tidak saling melebur?” Dan dia masih bertanya.  

“Kamu berkiblat ke arah mana sih? Oke, kalau gitu, sekarang pertanyaannya, siapa yang akan melebur diantara kita? Aku atau kamu?”  

“Aku” Katamu begitu saja. Enteng.  

“Sudah begitu saja?”  
“Iya...” Katamu lagi tanpa ingin menyampaikan pembelaan.  

“Kamu melebur? Ke dalamku? Begitu maumu? Itu maumu?” 

Seketika diam menyusup pelan dalam perbincangan kami. Lalu kami terpaku diam pada masing-masing ketidakmengertian.  

“Tidak ada yang perlu melebur. Tidak aku, dan tidak juga kamu. Bahkan tidak ada yang perlu dikorbankan. Tidak cita-citamu, tidak juga cita-citaku. Alasan kita bersama bukan untuk saling mengalah, saling menenggelamkan mimpi, atau apalah katamu tadi saling melebur. Melebur dari mananya? Yang kamu sebut itu bukan melebur, tapi membunuh jiwa. Itu yang kamu sebut pernikahan?”  

“Lalu, jika keduanya harus hidup dalam mimpi kita masing-masing, siapa yang akan mendukung? Siapa yang harus mengalah? Lantas, apa bedanya kita dengan dua orang asing yang hidup di bawah satu atap?”  

Mendengarnya, kesabaranku tak lagi kuat hingga mendorongku untuk setengah berteriak “Oh Tuhan, kamu habis makan apa sih tadi pagi?”  

“Mungkin secangkir realita, cukup membuatku terjaga..”  

Lalu aku dengar helaan nafasnya. Berat dan pasrah. Sebuah rasa frustasi karena ingin membuatku mengerti sesuatu tapi gagal. Seakan ingin membuatku paham sesuatu tapi malas beradu pendapat.   

“Begini ya, kita, aku dan kamu akan berjalan bersama. Saling mendukung pada setiap langkah yang kita jalani. Menikah bukan untuk melebur. Menikah itu diciptakan untuk orang-orang yang siap untuk saling mendukung. Kamu dan aku tidak perlu melebur. Kita hanya perlu saling menegur jika salah langkah. Aku tidak perlu menjadi kamu, kamu tidak perlu menjadi aku. Kita hanya cukup menjadi kita.... Tidakah itu sangat sederhana untuk dipahami?” Kataku pelan-pelan.

Dia hanya berdiri, mengecupku, dan berkata “Nanti kamu terlambat masuk kantor”  

Dia pun melangkah dengan berat. 

Selalu begitu!


____

Dalam tulisan bersama Felix dan Saya. 

Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall